Sunday 8 September 2013

Merawat Bayi Premature Dengan Metode Kanguru

Merawat Bayi Premature Dengan Metode Kanguru

Meski namanya kanguru, metode ini bukan berasal dari Australia, melainkan dikembangkan di Kolombia. Nama kanguru digunakan karena metode penanganan bayi prematur atau bayi berat lahir rendah (BBLR)-yaitu kurang dari 2.500 gram-ini meniru perilaku binatang asal Australia yang menyimpan anaknya di kantung perutnya, sehingga diperoleh suhu optimal bagi kehidupan bayi.

Menurut dr Imral Chair SpA(K) dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Ketua I Perkumpulan Perinatologi Indonesia (Perinasia) dalam seminar "Orientasi Metode Kanguru" yang diselenggarakan Forum Promosi Kesehatan Indonesia, Rabu (23/5), bayi prematur maupun bayi cukup bulan yang lahir dengan berat badan rendah, terutama di bawah 2.000 gram, terancam kematian akibat hipotermia-yaitu penurunan suhu badan di bawah 36,5 derajat Celcius-di samping asfiksia (kesulitan bernapas) dan infeksi.

Hipotermia terjadi karena evaporasi atau menguapnya cairan (air ketuban/air) dari kulit bayi yang basah, radiasi, atau kehilangan panas karena udara ruangan lebih dingin dibanding tubuh bayi, konduksi atau kehilangan panas karena bayi bersentuhan dengan benda yang lebih dingin (alas tidur dingin atau popok basah), serta konveksi jika bayi telanjang terkena aliran udara dingin.

"Suhu tubuh ideal bayi adalah 36,5-37 derajat Celcius. Bayi akan kedinginan dan stres kalau suhu tubuhnya di bawah 36,5 derajat Celcius. Jika suhunya di bawah 32 derajat Celcius, bayi akan mengalami cold injury yang ditandai dengan muka, ujung tangan, dan ujung kaki berwarna merah terang, bagian tubuh lain pucat, kadang-kadang terjadi pengerasan kulit yang kemerahan, serta pembengkakan terutama di punggung," papar Imral.

Faktor risiko hipotermia, antara lain bayi lahir tidak segera dikeringkan, terlalu cepat dimandikan, setelah dikeringkan tidak segera diberi pakaian, tutup kepala dan dibungkus, tidak segera didekapkan pada tubuh ibu, bayi baru lahir dipisah dari ibunya, tidak segera disusui ibunya, bayi berat lahir rendah, dan bayi sakit.

Perawatan bayi dengan metode kanguru bisa digunakan sebagai pengganti perawatan dengan inkubator. Caranya, dengan mengenakan popok dan tutup kepala pada bayi yang baru lahir. Kemudian, bayi dile-takkan di antara payudara ibu dan ditutupi baju ibu yang berfungsi sebagai kantung kanguru. Posisi bayi tegak ketika ibu berdiri atau duduk, dan tengkurap atau miring ketika ibu berbaring. Hal ini dilakukan sepanjang hari oleh ibu atau pengganti ibu (ayah atau anggota keluarga lain).

Suhu optimal didapat lewat kontak langsung kulit ibu dengan kulit bayi (skin to skin contact). Suhu ibu merupakan sumber panas yang efisien dan murah. Kontak erat dan interaksi ibu-bayi akan membuat bayi merasa nyaman dan aman, serta meningkatkan perkembangan psikomotor bayi sebagai reaksi rangsangan sensoris dari ibu ke bayi.

METODE kanguru (kangaroo mother care), menurut Prof dr Hadi Pratomo MPH DrPH dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), pertama kali dikembangkan Dr Edgar Rey di Bogota, Kolombia, tahun 1978. Kemudian dilanjutkan Dr Hector Martinez dan Dr Luis Navarette. Hal ini dilakukan untuk mengatasi kelangkaan fasilitas dan sumber daya rumah sakit untuk merawat bayi BBLR. 

Sejak akhir tahun 1980-an metode kanguru dikembangkan oleh Colombian Departement of Social Security dan World Laboratory-sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) berbasis di Swiss. 

Negara-negara berkembang sangat dianjurkan mengadopsi metode ini, mengingat terbatasnya fasilitas pelayanan kesehatan, terutama di daerah pedesaan. Tentu saja pelaksanaannya disupervisi oleh tenaga kesehatan. Dengan bantuan Unicef, cara perawatan ini dikenalkan ke pelbagai negara berkembang. Bahkan, negara maju termasuk Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Swedia, dan Belanda menggunakan metode ini sebagai alternatif penggunaan inkubator dan humanisasi proses persalinan dalam konteks prematuritas.

Di Indonesia, Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial (Depkes dan Kesos) telah mengembangkan kebijakan Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial. Metode kanguru digunakan sebagai salah satu cara pencegahan hipotermia dalam Perawatan Neonatal Dasar. Saat ini juga telah tersedia video dan peraga lembar balik metode kanguru untuk keperluan sosialisasi kepada tenaga kesehatan, terutama bidan di desa serta masyarakat. 

MENGAPA metode kanguru perlu diadopsi Indonesia? Menurut Hadi, berdasarkan perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 1995 hampir semua (98 persen) dari lima juta kematian neonatal terjadi di negara berkembang. Lebih dari dua pertiga kematian itu terjadi pada periode neonatal dini. Umumnya karena berat badan lahir kurang dari 2.500 gram. Menurut WHO, 17 persen dari 25 juta persalinan per tahun adalah BBLR dan hampir semua terjadi di negara berkembang. 

Di masyarakat tradisional Indonesia, kematian neonatal tidak dianggap suatu masalah. Bila bayi meninggal sebelum berusia 40 hari, orangtua atau keluarga menerima hal ini dan segera melupakan. 

Diperkirakan, kejadian BBLR di Indonesia sebesar 14 persen. Angka kematian bayi (AKB) Indonesia memang makin menurun, tetapi masih cukup tinggi, yaitu 52 per 1.000 kelahiran hidup (data Survei Demografi tahun 1997). Angka itu jauh lebih tinggi dibanding AKB sesama negara ASEAN (Singapura empat per 1.000 kelahiran hidup, Malaysia 12 per 1.000, dan Thailand 32 per 1.000). 

Perawatan BBLR yang berkualitas baik bisa menurunkan kematian neonatal, seperti inkubator dan perlengkapannya pada Neonatal Intensive Care Unit. Namun, teknologi ini relatif mahal. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dihadapkan pada masalah kekurangan tenaga terampil, biaya pemeliharaan alat, serta logistik. Selain itu, penggunaan inkubator dinilai menghambat kontak dini ibu-bayi dan pemberian air susu ibu (ASI), serta berakibat ibu kurang percaya diri dan tidak terampil merawat bayi BBLR. 

Sebuah studi penerapan metode kanguru di rumah sakit yang tidak memiliki inkubator dan peralatan lain untuk perawatan BBLR di lakukan di Manama Mission Hospital, Zimbabwe. Hasilnya menunjukkan, terjadi peningkatan survival bayi berat lahir kurang dari 1.500 gram dari 10 persen menjadi 50 persen dan bayi berat lahir 1.500-1.999 gram meningkat dari 70 persen menjadi 90 persen. 

Studi multisenter oleh WHO Collaborating Center for Perinatal Care dilakukan selama setahun pada rumah sakit di Addis Ababa (Ethiopia), Yogyakarta (Indonesia), dan Merida (Meksiko). Tujuannya, menilai kelayakan, penerimaan, efektivitas, dan biaya metode kanguru dibandingkan cara konvensional (ruang hangat dan inkubator). 

Hasilnya, kejadian hipotermia pada metode kanguru secara signifikan lebih rendah dibandingkan cara konvensional. Kelompok bayi yang dirawat dengan metode kanguru juga mendapat ASI lebih baik, pertambahan berat badan lebih baik, dan lama perawatan di rumah sakit lebih pendek. Metode kanguru terbukti lebih hemat dari segi perawatan alat dibanding cara konvensional. Baik ibu maupun petugas kesehatan lebih menyukai metode kanguru, karena lebih menyenangkan dan aman.

Penelitian di Yogyakarta itu dilakukan oleh Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-Rumah Sakit Dr Sardjito, dipimpin Prof dr Achmad Surjono, tahun 1995. Sampai kini RS Dr Sardjito konsisten menerapkan metode kanguru pada sistem rawat inap maupun rawat jalan. Menurut Imral, metode kanguru juga diteliti di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (FK Unpad)-RS Hasan Sadikin Bandung oleh Prof dr Anna Alisyahbana dan Prof dr Ali Usman.

"Krisis ekonomi berkepanjangan di Indonesia berdampak pada masalah kekurangan gizi, terutama pada ibu hamil. Diprediksi, kasus BBLR makin tinggi. Di pihak lain sumber daya kesehatan khususnya perawatan rumah sakit makin mahal dan tidak terjangkau oleh mereka yang memerlukan, baik di kota maupun desa. Metode kanguru dirasa tepat untuk mengatasi masalah perawatan BBLR di Indonesia. Jauh lebih baik daripada perawatan tradisional dengan didekatkan lampu petromaks atau botol panas yang berisiko menyebabkan luka ba-kar pada bayi," urai Hadi.

***


APAKAH metode kanguru bisa diterima masyarakat? Imral menuturkan, tahun 1996-1997 Perinasia bekerja sama dengan Unit Penelitian FK Unpad serta Depkes dan Kesos meneliti penerimaan wanita pedesaan terhadap metode kanguru di tiga daerah, yaitu Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara), Kabupaten Ogan Komering Ulu (Sumatera Selatan), dan Kabupaten Maros (Sulawesi Selatan). Untuk memperkenalkan, mula-mula dilakukan pelatihan terhadap bidan dan dukun bayi. 

Hasilnya, secara umum wanita pedesaan menerima metode kanguru. Hampir semua ibu yang melaksanakan, mendapat dukungan dari keluarga. Mereka berpendapat, metode kanguru membuat bayi lebih tenang, banyak tidur, dan banyak menyusu. Secara tradisional, sebagian tindakan dalam metode kanguru telah dikenal masyarakat dengan istilah lokal bedako (Kabupaten OKU), makaleppe (Makassar), dan kadukui (Bugis). Metode kanguru, tambah Hadi, juga diterima dan sebagian cara sudah dikenal oleh masyarakat pedesaan di Gugus Pulau Seram Barat, Maluku. 

Seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Anak di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) yang sedang melakukan penelitian metode kanguru, dr Piprim B Yanuarso, menambahkan, metode kanguru bukan sekadar alternatif dari inkubator, tetapi diusulkan sebagai pilihan utama, karena keunggulannya.

Selain mempererat ikatan ibu-bayi, meningkatkan perkembangan psikologis dan psikomotor bayi, membuat bayi lebih tenang dan tidak mudah kaget, dan membantu pertumbuhan fisik bayi, metode kanguru juga sangat praktis dan hemat energi. Berbeda dengan inkubator yang suhunya harus selalu disesuaikan dengan perkembangan berat badan dan usia bayi, kontak kulit ibu dan kulit bayi membuat penyesuaian otomatis suhu tubuh ibu untuk melindungi bayi. 

"Sewaktu bayi perlu panas, suhu tubuh ibu meningkat. Suhu tubuh ibu menurun sejalan penurunan kebutuhan panas bayi," kata Piprim.

Selain itu, pengenalan flora normal tubuh ibu yang diimbangi pemberian ASI yang mengandung antibodi, akan meningkatkan ketahanan tubuh bayi terhadap infeksi dibanding jika berada di inkubator, mengingat ancaman infeksi nosokomial sangat tinggi di rumah sakit. 

Pasangan muda Ita-Gunadi merupakan salah satu keluarga yang menerapkan metode kanguru untuk merawat bayi prematur mereka. Ita melahirkan Rafif setelah empat kali keguguran, karena menderita toksoplasmosis. Saat kehamilannya yang kelima menginjak minggu ke-33, Ita mengalami eklampsia-kejang-kejang dan tekanan darah tinggi-sehingga bayinya harus segera dikeluarkan lewat operasi caesar. Rafif lahir dengan berat badan 2.000 gram dan dirawat di inkubator selama seminggu. 

"Sepulang dari rumah sakit, setiap pagi Rafif saya jemur. Setelah itu, sepanjang hari saya gendong dengan kain di dalam baju atau kaus yang saya kenakan. Di malam hari, saya bergantian dengan suami meletakkan Rafif di atas tubuh kami, sama-sama tanpa baju, hanya memakai selimut tebal," tutur Ita yang mengenal metode kanguru dari buku petunjuk yang diberi temannya.

Hasilnya, berat badan Rafif naik 200 gram per minggu, karena sangat kuat menyusu. Pada usia dua bulan berat Rafif mencapai tiga kilogram, sehingga tidak perlu lagi digendong dalam baju. Kini Rafif sudah berusia 2,5 tahun, lincah, dan jarang sakit. 

Menurut Imral, dulu memang ada pendapat bahwa bayi prematur atau bayi dengan berat badan rendah tidak boleh banyak disentuh agar tidak terganggu dan menghindari infeksi. Namun, ilmu kedokteran terus berkembang. Bagi bayi yang stabil (tidak sakit), perawatan dengan metode kanguru dianggap lebih menguntungkan. Kini di pelbagai pusat penelitian masih terus dilakukan studi dan para peneliti bertemu secara periodik untuk membahas hasilnya.

No comments:

Post a Comment